Sabtu, 25 Januari 2020

Tanah Pemberi Pertanyaan



Tanah pemberi pertanyaan
Mataku fokus menatap sesuatu yang membuat pikiran ku bertanya- tanya, tak hentinya ku tatap sampai terjawab semuanya, tapi bagaimana caranya pertanyaan itu terjawab jika diriku saja tak tau apa sebabnya. Keingintahuku semakin menguat, ingin rasanya ku tanya satu persatu orang yang ada di sekitar ku, tapi dalam hati ada rasa malu, sungguh rasa malu itu mengganggu keingintahuku.
Aku turun menginjak satu persatu anak  tangga, melihat suasana yang semakin aku turun semakin aku takut. Ku pegang erat tangan teman ku, hingga tangannya dan tangatku berkeringat, mungkin teman ku juga punya rasa seperti apa yang ku rasa saat ini. Aku dan teman-teman  turun dan berhadab di depan Gua yang sangat besar, aku sungguh takut menatap gua di depanku, banyak patung- patung, banyak petih bahkan ada tengkorak, buluku naik begitu saja, terasa dingin yang ku rasakan padahal cuacanya baik-baik saja.
Aku menatap tour guide yang berada pas di depanku, mendengar penjelasannya asal muasal gua itu. gua itu adalah londa, gua alam tanpa sentuhan pahat ataupun semacamnya, gua itu real berbentuk seperti itu, gua itu adalah tempat pemakaman bangsawan bahkan masyarakat biasa. Masyarakat disana juga mempercayai tradisi atau adat yang sampai sekarang masi dilakukan khususnya masyarakat toraja yang beragama kristen.
Aku menatap patung-patung yang duduk dan ada pula berdiri, menurut ceritanya, patung itu adalah patung orang bangsawan yang memiliki keturunan bangsawan, setiap bangsawan meninggal akan dibuatkan patung sebaliknya jika bukan bangsawan tentunya tidak akan dibuatkan patung sekaya papun dia. Rasa penasaran ku semakin menjadi- jadi, ku beranikan diri masuk di dalam gua, tapi hanya gua yang di bawah, karena jika ingin sampai di tingkat paling atas itu sangatlah mustahil, hanya orang-orang tertentu yang bisa naik ke atas, jadi dengan rasa penasaran ku putuskan masuk ke gua sebelah kanan bersama teman-teman dan didampingi dua orang pembawa lampu.
Ku injak sebuah batu, menahan beban berat badan ku untuk masuk ke gua sebelah kanan dengan kaki kananku, tidak ada hubungannya dengan masuk ke gua menggunakan kaki kanan, cuman itu yang selalu ku lakukan jika masuk ke tempat atau rumah orang, tentunya tak lupa ku ucapkan salam kepada mereka yang tenang di alam sana. Aku masuk melihat begitu banyak petih dan tengkorak, ada yang tengkoraknya putih ada pula yang mulai kecoklatan, ternyata jika tengkoraknya berwarna coklak mungkin waktu mereka ada di rumah tubuhnya di kasi formalin kata bapak pembawa lampu.
Suasana yang tadinya dingin terasa panas ku rasa, dan rasa takut dan penasaran itu mulai lagi bereaksi. Aku hanya melihat teman-temanku berfoto didekat tengkorak dan petih, hanya melihat mereka bukan berarti aku takut.
Tak henti-hentinya aku berdoa di dalam hati, karena ketakutanku yang sangat tajam. Ada sepasang tengkorak yang ku lihat dan dihiasi dengan bunga-bunga, ternyata tengkorang itu dinamakan romeo dan juliet. Konon mereka adalah pasangan mempelai muda yang saling mencintai tetapi tidak direstui oleh pihak keluarganya dan memilih bunuh diri, pikiran ku mulai membuka lembaran- lembaran buku yang pernah ku baca, mengingat dan berusaha mengingat, akhirnya teringat juga buku yang perna ku baca. Menurutku dari cerita yang diceritakan bapak pembawa lampu itu kurang lebih seperti cerita romeo dan juliet sebuah cerita tragedi romantis karya  wiliam shakespear pada awal karirnya. Meninggalkan sepasang tengkorak, kami melanjudkan perjalanan dan tenyata untuk melanjudkannya sangatlah susah karena kami harus merayap dikarenakan jalanannya sangatlah sempit, jadi kami sepakat untuk keluar dari gua sebela kanan dan kami putuskan untuk masuk ke gua sebelah kiri. Aku mulai penasaran melihat gua sebelah kanan sepertinya aku mulai melakukan teka- teki dan berusaha menjawabnya, tanpa berlama-lama kami menuju gua sebelah kiri, sesampai disana
aku melihat petih, kata bapak pembawa lampu di petih itu adalah seorang nenek beliau meninggal kurang lebih dua bulan.
Di gua itu, aku melihat banyak uang koin dan puntung rokok, bahkan aku juga melihat bunga entah bunga apa aku tidak paham soal bunga ilmuku masi sedikit. Setelah melihat-lihat gua debelah kiri, aku dan teman-teman keluar dan berkumpul kembali di depan gua. Pak safri menjelaskan lebih dalam tentang gua itu. Tingkatan paling atas adalah tempat para bangsawan sedangkan yang paling bawah hanyalah masyarakat biasa, pikirku itu sunggu terlihat sangat jelas perbedaannya.
Pak sarif melanjudkan penjelasannya tentang pemakaman yang ada disana, kata pak sarif sebelum memasukkan mayat ke dalam pekuburan gua londa, keluarga dari yang meninggal itu harus melakukan upacara Rambu Solo atau upacara penyepurnaan kematian, karena menurut kepercayaan mereka, jika orang yang sudah mati tidak melakukan upacara rambu solo itu belum dikatakan mati tetapi dikatakan dia sedang sakit keras. Jadi mayatnya disimpan di dalam rumah dan di formalinkan untuk mengawetkan mayat agar tidak membusuk. Selain keanehan itu aku juga mendengar pak sarif berkata, bahwa orang mati yang dianggap sakit itu tetap diberikan makan layaknya orang yang masih hidup. Mendengar penjelasan pak sarif membangun beribu teka-teki yang sulitku pecahkan, teka-teki dari pertanyaanku sendiri yang membuat aku semakin heran bahkan curiga. Tapi aku mulai sadar karena ini adalah adat istiadat di toraja dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat khususnya yang beragama kristen.
Aku percaya dengan penjelasan tour guide kami, karena beliau sangat tau seputar sejara di toraja setelah mendengar penjelasannya kurang libih dua hari di atas bus pariwisata dan menyaksikan langsung, pikiran ku mulai menerima semuanya.
Aku keluar dari londa bersama teman-teman dan dosen pendamping serta tour guide, melewati tangga yang entah berapa anak tangga aku naiki, rasanya kiku tak sanggup menaiki tangga sebanyak itu, ku tatap kembali gua itu, telihat lebih jelas dari tempat ku saat ini berdiri. Gua pemakaman tingkatan plaing atas, aku bertanya dengan teman ku, bangaimana caranya petih di naikkan di atas itu, dan ternyata teman ku juga tidak bisa menjawabnya, sampai akalku mulai memikir, mungkin mereka manjat  dari gua yang paling bawah sampai gua paling atas, pikiran ku mulai membentuk jawabanku sendiri dan ternyata pikiranku salah, mendengar perkataan tour guide kami pak sarif, cara menaikkan petih yang ditingkat paling atas itu dengan cara menggunakan rol, aku tertawa kecil karena jawaban dari pikiranku ternyata salah, dasar aku. 

















Thank you.... 


To Riaja, 18-januari-2020




madn              

Tanah Pemberi Pertanyaan

Tanah pemberi pertanyaan Mataku fokus menatap sesuatu yang membuat pikiran ku bertanya- tanya, tak hentinya  ku tatap sampai terjawa...